Dari sisi pendidikan, kualitas pendidikan masih rendah, serta dari sisi kesehatan, kesehatan dan gizi anak rendah, prevalensi penyakit tidak menular tinggi, dan prevalensi merokok tinggi. Dari kedua isu tersebut, tingginya prevalensi merokok menjadi faktor yang dapat mengurai simpul masalah SDM di Indonesia.
– Ancaman Rokok :
Pada tahun 2019, Kementerian Kesehatan menargetkan angka prevalensi merokok usia 18 tahun sebesar 5,4% (Renstra Kemenkes, 2015). Kondisi ini semakin memprihatinkan dengan fenomena baby smoker di Indonesia mengemuka sejak tahun 2010.
Fenomena ini sangat memprihatinkan karena anak-anak atau balita bukan lagi perokok pasif melainkan telah menjadi perokok aktif pada usia yang sangat muda (CNN, 2016). Kondisi ini merupakan gambaran betapa rokok telah menjadi ancaman besar bagi generasi penerus bangsa. Tingginya prevalensi merokok pada anak di Indonesia tentu saja menjadi simpul masalah untuk pendidikan dan kesehatan Indonesia sehingga dapat mengancam kualitas.
– Dampak Rokok untuk Kesehatan:
Selanjutnya, tingginya angka perokok di Indonesia juga menjadi akar masalah tingginya penyakit tidak menular. Tingginya tingkat penyakit tidak menular di Indonesia menunjukkan bahwa SDM juga semakin rentan sakit sehingga dapat menurunkan produktivitasnya sebagai generasi yang kompetitif (Semba et al., 2018).).
Tingginya konsumsi rokok di Indonesia mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 600 triliun pada tahun 2015 atau empat kali lebih besar dibandingkan penerimaan cukai yang diterima negara (Kosen, et.al, 2017).
– Dampak Rokok untuk ekonomi:
Terlebih lagi, tingginya angka perokok di Indonesia akan membuat kelompok masyarakat miskin memiliki posisi semakin rentan. Menurut Badan Pusat Statistik yang dikutip dalam Kompas.com (2020), program pengentasan kemiskinan akan sulit tercapai karena belanja rumah tangga miskin terbesar kedua adalah rokok.
Data menunjukkan bahwa konsumsi rokok pada keluarga miskin mengalahkan kebutuhan lain yang lebih bermanfaat, bahkan kebutuhan pokok seperti pendidikan dan kesehatan.