LBH GEKIRA juga menyoroti adanya standar ganda dalam praktik toleransi. WSY selama ini menjalankan berbagai kegiatan pendampingan pastoral, pendidikan agama, serta aktivitas sosial lintas iman yang diterima oleh masyarakat sekitar.
“Jika aktivitas sosial diterima, tetapi ibadah justru dilarang, maka ini menunjukkan adanya pemahaman keliru bahwa ibadah boleh dibatasi atas dasar rasa tidak nyaman sebagian pihak. Pola pikir ini berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi dan HAM,” kata Santrawan.
Lebih jauh, LBH GEKIRA menilai aparat pemerintah daerah, aparat keamanan, serta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) seharusnya tidak berhenti pada peran mediasi semata, melainkan aktif memastikan pemenuhan dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
“Kerukunan sejati tidak dibangun dengan membungkam ibadah, melainkan dengan keberanian negara menjamin rasa aman bagi semua pemeluk agama. Negara tidak boleh bersikap netral terhadap pelanggaran hak,” tambahnya.
LBH GEKIRA menegaskan bahwa ke depan negara harus memastikan proses perizinan kegiatan ibadah berjalan secara transparan, adil, dan non-diskriminatif, serta tidak membuka ruang pembatasan ibadah berbasis tekanan sosial.
“Jika praktik pembatalan ibadah terus dibiarkan, maka yang terancam bukan hanya umat tertentu, melainkan fondasi negara hukum dan jaminan hak asasi manusia itu sendiri,” pungkas Santrawan.
