Kebijakan tersebut, justru berpihak pada kepentingan masyarakat banyak dengan prinsip berkeadilan. Prinsipnya bagi pengguna kendaran bukan angkutan umum dikenakan biaya apabila melewati koridor-koridor yang diberlakukan ERP. Besaran biaya yang dikenakan bergantung dari tingkat kemacetan yang terjadi dengan ketentuan semakin macet maka akan semakin besar biaya yang dikenakan.
“Jadi ERP bukan berarti kendaraan yang lewat harus membayar, namun kendaraan yang menyebabkan kemacetan pada ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya atau yang kita sebut dengan congestion charge,” terangnya.
Bambang menuturkan nantinya akan diwujudkan prinsip berkeadilan dimana masyarakat bisa memilih tetap menggunakan kendaraan pribadi namun dikenakan biaya ERP atau berpindah menggunakan angkutan umum.
Pengenaan biaya dari kebijakan ERP ini akan menjadi pendapatan negara bukan pajak yang sepenuhnya akan digunakan untuk peningkatan penyelenggaraan transportasi umum di wilayah tersebut. Selain itu, masyarakat juga tidak perlu khawatir mobilitasnya akan terganggu, karena pada saat implementasi kebijakan ERP pasti akan dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan pendukung lainnya.
Misalnya apabila ketersediaan angkutan umum massal setempat belum memadai pasti akan dilakukan kebijakan pembenahan angkutan umum baik menyangkut jumlah maupun pelayanan.
“Kemacetan di Jabodetabek sudah menimbulkan banyak kerugian dan menurunkan kualitas hidup manusia dan lingkungan, oleh karena itu pemecahan masalah kemacetan butuh partisipasi semua pihak,” pungkasnya.
Data Bappenas 2017 menyebutkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta saja sekitar 65,7 triliun rupiah/tahun, angka tersebut tentu akan berkembang lebih besar untuk lingkup Jabodetabek. Selain itu polusi udara karena kemacetan lalu-lintas juga menyebabkan kualitas udara di langit Jakarta dan kota-kota di sekitarnya sering memburuk pada level yang membahayakan kesehatan dan menempati rangking atas terburuk di dunia. (Dim)

