Oleh: Dr. H. Bambang Sutopo, SE, MM
(Anggota DPRD Kota Depok/FPKS)
Setiap tanggal 25 November, bangsa ini kembali mengingat satu profesi yang tidak pernah selesai membentuk Indonesia: guru. Hari Guru Nasional bukan hanya seremoni atau formalitas kalender, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang siapa yang sesungguhnya menjaga peradaban, menjaga nalar, menjaga masa depan—bahkan ketika negara, masyarakat, dan zaman berubah dengan sangat cepat.
Kita hidup di era di mana teknologi bergerak lebih cepat daripada moralitas, informasi lebih mudah didapat daripada kebijaksanaan, dan generasi muda lebih dekat dengan layar daripada teladan. Di tengah perubahan itu, guru tetap hadir sebagai penyeimbang, sebagai suara bening yang mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang tahu, tetapi juga tentang menjadi manusia.
Guru sesungguhnya bukan sekadar profesi. Ia panggilan jiwa. Tidak semua yang mengajar adalah guru, tetapi setiap guru sejati pasti mengajar dengan hati. Di kelas-kelas sederhana, di sekolah pinggiran, di madrasah desa, atau di sekolah unggulan sekalipun, guru adalah sosok yang menjahit harapan satu anak pada satu waktu.
Ada ungkapan yang sering kita dengar:
“Jika ingin melihat masa depan suatu bangsa, lihatlah bagaimana ia memperlakukan gurunya.”
Sayangnya, hingga hari ini kita belum benar-benar menjadikan guru sebagai pusat kemajuan. Banyak guru yang masih mengajar dengan fasilitas minim, gaji yang belum memadai, beban administrasi yang menumpuk, dan tekanan publik yang semakin tinggi. Padahal, negara yang besar tidak dibangun dari beton dan megaprojek, tetapi dari pendidikan dan karakter warganya.
Hari Guru Nasional 2025 ini harus menjadi momentum penting untuk kembali pada komitmen fundamental: menguatkan martabat guru, meningkatkan kualitas pendidikan, dan memastikan guru memiliki ruang tumbuh, bukan sekadar ruang bekerja.



