Penetapan mata anggaran dalam APBD juga harus melalui persetujuan DPRD. Ini diatur dengan jelas dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri terkait APBD.
Sementara itu, Panduan Musrenbang yang berisi Juklak Juknis Alokasi Dana Rp300juta per RW sudah disosialisasikan Bappeda, padahal belum melalui pembahasan dengan Badan Anggaran DPRD.
“Secara prosedural, ini menyalahi ketentuan dan etika pemerintahan.” tegas Ade.
Ade menjelaskan, pertanggungjawaban administratif alokasi Dana Rp300juta per RW ini juga belum ada penjelasan lebih lanjut terkait siapa Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) nya, sebagaimana diatur dalam PP 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Apakah RW bisa menjadi KPA, atau penerima hibah bansos. Apakah KPA nya Lurah dan atau Camat, lalu bagaimana pertanggungjawaban administratif atas pelaksanaan kegiatannya.
“Apakah dikerjakan oleh tiap RW atau oleh staf Kelurahan dan Kecamatan. Tanpa kejelasan tata administrasi, alokasi anggaran berpotensi fraud (penyalahgunaan dana secara tidak bertanggungjawab).” tambah Ade.
Sementara itu, Ade menyebut, perbedaan kondisi demografi penduduk di tiap RW juga berpotensi mengundang masalah lain. Antara RW berpenduduk sedikit (hanya satu dua RT, puluhan KK, ratusan warga) dengan RW padat penduduk (dengan jumlah RT yang banyak, ratusan hingga ribuan KK, dan puluhan ribu penduduk), bisa mengundang kecemburuan akibat ketimpangan alokasi anggaran dan memicu pemekaran RW secara massive.
“Ini berpotensi kerawanan sosial dan pembengkakan anggaran dana Rp300juta per RW.” terangnya.
Tanpa kajian yang mendalam dan komprehensif, serta pelanggaran prosedural di sana sini, dikuatirkan progam ini akan menjadi bom waktu masalah di belakang hari.



